Mei 25, 2014

Hikayat Negeri Jambi: Sinopsis


DUSUN MUARA merupakan tempat asal mulanya kerajaan Jambi. Rajanya bernama Tuan Talanai. Dalam memerintah, ia dibantu oleh lima orang hulubalang. Atas perintah Tuan Talanai, salah seorang hulubalang yang bernama Si Pahit Lidah berhasil membuat sungai mulai dari dusun Muara hingga ke laut dalam tempo satu jam. Oleh karena itu, nagari tersebut disebut Jambi.

Telah beberapa lama Tuan Talanai bertahta, belum juga ia dikaruniai anak. Hal itu membuatnya gundah karena memikirkan siapa yang akan menggantikannya bila ia meninggal. Tuan Talanai dan isterinya berupaya agar mendapat anak, baik dengan mencari obat, pergi ke dukun, maupun minta kepada para dewa.

Tidak lama kemudian isteri Tuan Talanai hamil. Setelah genap bulan kehamilannya, isteri Tuan Talanai melahirkan seorang anak laki-laki yang baik parasnya. Kelahiran bayi tersebut disertai dengan tanda-tanda yang menakjubkan. Guncangan yang ditimbulkannya membuat dukun yang menolong tidak kuasa untuk memegangnya, bahkan papan rumah maupun atap rumah pun patah.

Kelahiran seorang putera yang sangat dinantikannya membuat Tuan Talanai bersuka cita. Akan tetapi, setelah mengetahui kejadian yang menyertai kelahiran puteranya tersebut, Tuan Talanai merasa heran dan sekaligus takut kelak anaknya lebih berkuasa sehingga akan membahayakan nagari Jambi. Untuk mengetahui ihwal anaknya tersebut, Tuan Talanai memanggil 40 orang ahli nujum.

Dikatakan oleh para ahli nujum bahwa anak yang baru dilahirkan itu kelak membawa bencana yang besar bagi nagari Jambi serta menjadikan hidup Tuan Talanai tidak senang. Agar nagari Jambi terhindar dari bencana, maka anak yang baru dilahirkan itu harus dibuang ke laut. Mendengar kata ahli nujum, Tuan Talanai segera memberi perintah kepada hulubalangnya untuk membuatkan peti tujuh lapis untuk membuang anaknya.

Setelah dihiasi dengan pakaian yang indah, sebagaimana layaknya anak seorang raja, anak Tuan Talanai dimasukkan ke dalam peti yang jumlahnya tujuh lapis dan disertakan pula sebuah surat di dalam peti tersebut. Selanjutnya, peti itu dibuang ke laut.

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya peti itu dibawa gelombang hingga sampai ke laut Siam dan ditemukan oleh raja Siam. Raja Siam dan isterinya merawat anak itu dengan penuh kasih sayang. Dicarikannya inang pengasuh dan kawan bermain-main buat anak angkatnya itu. Anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat ditakuti oleh kawan-kawannya bermain karena jikalau ia marah maka dihempaskannya orang yang membuatnya marah tersebut. Melihat ulahnya yang demikian, kawan-kawannya memperoloknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang tidak tentu siapa bapanya, raja Siam bukanlah orang tua yang sebenarnya sehingga pantas apabila perilakunya sangat jahat.

Mendengar olok-olok kawannya, anak angkat raja Siam pun bertanya kepada bundanya tentang orang tuanya yang sebenarnya. Menginjak umur empat belas tahun, anak angkat raja Siam teringat kembali akan perkataan bahwa ia bukan anak raja Siam yang sebenarnya. Ia pun menanyakan kembali hal itu kepada bundanya dan menceritakan tentang mimpinya bahwa sesungguhnya ia adalah anak Tuan Talanai, raja Jambi. Ia bertekad akan bunuh diri bila tidak diberi tahu tentang hal yang sebenarnya. Mengetahui anak angkatnya hendak bunuh diri, raja Siam kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan kelengkapan berlayar bagi anak angkatnya yang hendak ke nagari Jambi menemui Tuan Talanai.

Sesampai di Jambi, ternyata Tuan Talanai tidak mau mengakui anak angkat raja Siam sebagai anak kandungnya meskipun kepadanya telah ditunjukkan surat dari Raja Siam sebagai bukti bahwa anak itu adalah anak kandungnya. Penolakan Tuan Talanai tersebut menyebabkan kemarahan anak angkat Raja Siam dan kemudian menyerang nagari Jambi. Dalam peperangan inilah akhirnya Tuan Talanai dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Setelah berhasil membunuh Tuan Talanai, anak angkat Raja Siam kembali ke nagari Siam. Sepeninggal Tuan Talanai, nagari Jambi tidak beraja lagi.

Pada pasal kedua diceritakan bahwa pada kurun waktu berikutnya bangsawan dari Turki datang ke pulau Berhala dan menjadi raja di pulau ini dan dikenal dengan sebutan Datuk Paduka Berhala. Sebelum meninggal ia berpesan kepada puteranya, Datuk Paduka Ningsun, agar mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram setahun sekali.

Datuk Paduka Ningsun menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan seorang puteri Ki Demang Lebar Daun dari Palembang. Pada saat menjadi raja, Datuk Paduka Ningsung berpindah nagari ke Ujung Jabung. Ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, Orang Kaya Pedataran, dan Orang Kaya Gemuk.

Sepeninggal Datuk Paduka Ningsung, Orang Kaya Itam menjadi raja dan kemudian membuat nagari di Muara Sampang yang dikenal dengan sebutan nagari Kota Tua. Pada saat menjadi raja, Orang Kaya Itam tidak mau lagi mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram sehingga datang surat dari Sultan Mantaram menanyakan hal tersebut.

Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, dan Orang Kaya Pedataran pergi ke Mantaram dengan cara menyamar. Sesampai di Mantaram mereka bertiga tiba di tempat membuat keris. Dari tukang keris itu Orang Kaya Itam mengetahui bahwa keris itu milik Sultan Mantaram yang akan digunakan untuk membunuh Orang Kaya Itam jika datang ke Mantaram. Hal itu menimbulkan kemarahan Orang Kaya Itam sehingga ia merampas keris itu kemudian membunuh tukang keris dan mengamuk di pasar.

Sultan Mantaram terdiam tatkala mengetahui bahwa orang yang mengamuk itu adalah Orang Kaya Itam yang berasal dari Jambi. Setelah mengetahui duduk persoalan mengapa Orang Kaya Itam tidak pernah datang ke Mantaram, Sultan Mantaram menyerahkan keris itu kepada Orang Kaya Itam tiga bersaudara. Selain itu, diserahkannya juga sebuah pedang dan dua batang tombak kepada Orang Kaya Itam untuk dibawa pulang ke Jambi. Sejak saat itu Sultan Mantaram memberikan kebebasan kepada Orang Kaya Itam untuk datang ke Mantaram sesuka hatinya.

Sekembali dari Mantaram, Orang Kaya Itam berhasil menundukkan beberapa dusun hingga sampai ke Muara Tembesi. Orang Kaya Itam meninggal di nagari Kota Tua. Ia tidak memiliki anak sehingga kedudukannya sebagai raja dilanjutkan oleh Orang Kaya Pingai. Sepeninggal Orang Kaya Pingai, yang juga tidak mempunyai anak, Orang Kaya Pedataran menjadi raja. Setelah Orang Kaya Pedataran meninggal, Orang Kayo Gemuk yang berada di Mantaram dan memiliki lima orang anak pun kembali ke nagari Kota Tua. Akan tetapi, tatkala baru sampai di pulau Tungkal, Orang Kaya Gemuk mendadak sakit dan kemudian meninggal. Anak turunan Orang Kaya Gemuk inilah yang selanjutnya mengadakan rukhyat raja di dalam nagari Jambi.

Pada pasal ketiga diceritakan tentang anak keturunan Orang Kaya Gemuk menjadi raja. Sesuai dengan wasiat Orang Kaya Gemuk, kelima anaknya bermufakat untuk mengangkat salah satu di antaranya menjadi raja di nagari Kota Tua. Mereka bersepakat untuk mengangkat Si Bungsu Yang Berujud menjadi raja. Sebelum menyatakan kesediaannya menjadi raja, Si Bungsu Yang Berujud menghendaki adanya kata mufakat dari semua saudaranya itu. Masing-masing kemudian menyatakan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan raja dan nagari sesuai dengan kecakapannya. Mereka membuat nagari di Rangas Pandak sehingga raja yang terpilih diberi gelar Pangeran Rangas Pandak. Saat itulah dimulainya adat penobatan raja.

Sementara itu, Tuan Puteri Pinang Masak, anak raja Minangkabau bermaksud hendak membuat nagari di Jambi yang dikabarkan telah menjadi hutan sejak ditinggal Tuan Talanai. Mendengar berita tentang adanya puteri raja Minangkabau yang menetap di bekas kerajaan Tuan Talanai (Muara Jambi), Pangeran Rangas Pandak mengirim utusan untuk melihatnya. Tuan Puteri Pinang Masak merasa gembira dengan kunjungan utusan Pangeran Rangas Pandak. Pangerang Rangas Pandak menikah dengan Tuan Puteri Pinang Masak dan selanjutnya mereka menetap di Rangas Pandak. Mereka memiliki empat orang anak, yaitu Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit, Pangeran Adipati Tiada Katik Bayang-Bayang, Pangeran Paku Negara, dan Panembahan di Bawah Sawo. Pada saat Pangeran Rasas Pandak menjadi raja, belum seluruh pucuknya Jambi sembilan lurah kepadanya, kecuali dusun-dusun yang dulu telah ditundukkan oleh Orang Kaya Itam.

Pada pasal keempat diceritakan tentang anak Pangeran Rangas Pandak menjadi raja. Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit bermufakatan dengan saudara-saudaranya hendak membuat nagari terlebih dahulu sebelum menetapkan raja yang baru karena hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja sebelumnya. Mereka membuat nagari di Malayapura sehingga semua yang ada di Rangas Pandak pindah ke Malayapura.

Selain membuat nagari, mereka juga bersepakat untuk menundukkan pucuknya Jambi sembilan lurah. Setelah berhasil menundukkannya, mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja. Panembahan di Bawah Sawo terpilih untuk menjadi raja. Selain membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah ditundukkannya, Panembahan juga membuat perjanjian dengan Yang Dipertuan Balang mengenai batas-batas daerah kerajaan. Setelah itu, mereka kembali ke tempat masing-masing.

Sesampai di muara Sungai Tabo, Panembahan berhenti dan menyuruh orang untuk membuat takir sejumlah seratus. Setelah diisi, takir tersebut dihanyutkan hingga sampailah di sebelah ulu Tanah Pilih. Di tempat ini panembahan bertapa selama tujuh hari tujuh malam dan bertemu dengan Cina yang kemudian memberinya bedil yang bernama Si Jimat, gong bernama Si Taming Jambi, dan tombak bernama Si Macan Turu. Di Tanah Pilih inilah akhirnya Panembahan membuat nagari dan mendirikan keraton. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain membuat kampung sendiri pula. Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit membuat kampung yang diberi nama Kadipan, Pangeran Adipati yang Tiada Katik Bayang-Bayang membuat kampung yang diberi nama Perabon, dan Pangeran Paku Negara membuat kampung yang diberi nama Kebumen.

Panembahan memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Anak perempuannya, Ratu Mas Juminten, menikah dengan raja Johor. Anak laki-lakinya selanjutnya dinobatkannya menjadi raja dengan gelar Sultan Agung Sri Ingalaga.

Ketika Ratu Mas Juminten meninggal, Raja Johor tinggal bersama Sultan Agung di nagari Jambi. Pada saat Sultan Agung sedang pergi ke ulu, Raja Johor pulang ke Johor dengan melarikan bedil kerajaan yang bernama Si Jimat dan gong yang bernama Si Taming Jambi.

Sekembali dari ulu, Sultan Agung terkejut mengetahui bedil dan gong kerajaan dilarikan oleh Raja Johor. Sultan Agung segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang nagari Johor hingga akhirnya Johor dapat dikalahkan. Nagari Johor kemudian meminta bantuan dari Palembang dan Jambi pun minta bantuan dari Padang di bawah pimpinan Tuan Petor. Setelah Johor dapat dipukul mundur kembali, Tuan Petor membuat gedung di Pacinan.

Pada pasal kelima diceritakan tentang pembuangan Sultan Agung oleh anaknya. Diceritakan bahwa Sultan Agung mempunyai dua orang anak, Raden Gegadih dan Raden Jumut. Raden Gegadih yang gagal membunuh Sultan Agung meminta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang ayahnya ke Betawi. Mengetahui perbuatan Raden Gegadih, Raden Jumut melarikan diri ke Muara Tabo dan kemudian diangkat sebagai raja oleh rakyatnya dengan gelar Sultan Maharaja Batu.

Niat jahat Raden Gegadih muncul tatkala mengetahui bahwa Raden Jumut telah menjadi raja di Muara Tabo. Ia minta bantuan ke Palembang untuk menyerang Sultan Maharaja Batu. Peperangan ini dapat dilerai oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Selanjutnya, mereka pulang ke tempat masing-masing. Meskipun demikian, Raden Gegadih tetap saja berniat jahat kepada Sultan Maharaja Batu. Ia minta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang Sultan Maharaja Batu. Sultan Maharaja Batu tertangkap dan dibuang ke Betawi. Sepeninggal Sultan Maharaja Batu, anak tertuanya diambil oleh Sultan Gegadih dan diangkatnya sebagai raja untuk menggantikannya, dengan gelar Sultan Abdul Mukhyi.

Mendengar kabar bahwa saudaranya menjadi raja di nagari Jambi, Raden Abdul Rahman, yang juga putera Sultan Maharaja Batu, pergi ke hilir menemui Sultan Abdul Mukhyi dan memaksanya untuk menyerahkan kedudukannya sebagai raja kepada dirinya. Saat itu pula Raden Abdul Rahman menjadi raja dengan gelar Sultan Abdul Rahman Anom Sri Ingalaga. Sementara itu, Sultan Abdul Mukhyi dibuang ke pedalaman.

Di dalam masa pemerintahannya, Sultan Abdul Rahman mengangkat menteri-menteri dan memberi nama serta pangkatnya masing-masing. Seorang menterinya yang bernama Ki Demang Miskin bermaksud memperisteri anaknya, tetapi hal itu menimbulkan kemarahan raja-raja di dalam nagari itu. Mengetahui hal tersebut, Ki Demang Miskin datang kepada Tuan Petor dan menyebarkan fitnah bahwa sultan bersama raja-raja dan menteri bersepakat hendak menyerang Tuan Petor.

Akibat fitnah yang dilontarkan oleh Ki Demang Miskin tersebut, Tuan Petor menyerang nagari Jambi hingga berbulan-bulan lamanya. Dalam peperangan itu banyak rakyat nagari Jambi yang mati. Sultan Abdul Rahman Anom segera menyuruh utusan pergi menghadap Tuan Jenderal di Betawi untuk mengadukan adanya serangan Tuan Petor tanpa sebab yang jelas. Setelah memeriksa perkara itu, Tuan Jenderal memulangkan Ki Demang Miskin ke Jambi serta menyuruh Tuan Petor menetap kembali di Jambi. Selanjutnya, Tuan Petor membangun kota di Muara Kumpeh.

Tatkala Sultan Abdul Rahman meninggal, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin. Pada masa Sultan Ahmad Zainuddin menjadi raja inilah Tuan Petor yang berada di Muara Kumpeh diamuk oleh orang Jambi karena persoalan dalam jual beli lada. Tuan Petor akhirnya melarikan diri pulang ke Betawi.

Selanjutnya hanya diceritakan secara ringkas jurai kuturunan Sultan Ahmad Zainuddin. Sepeninggal Sultan Ahmad Zainuddin, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Masyhud. Sepeninggal Sultan Masyhud, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Mahmud Mukhiddin. Anak Sultan Mahmud Mukhiddin yang pertama, Raden Mahmud, dijadikannya pangeran ratu yang kemudian menggantikannya menjadi raja dengan nama Sultan Mahmud Fakhruddin. Tamatlah hikayat ini di dalam Muara Kumpeh pada sanat 1253 dan kepada 27 Rabiulakhir, hari Ahad tamat adanya.[]

_________________

Disalin ulang utuh oleh Widodo dari Indiyah Prana Amertawengrum, “Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural”, Tesis S-2 Jurusan Sastra Indonesia dan Jawa, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (1996), hlm. 207-217. Tesis utuh dapat dibaca di sini.


Related post:

>> Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural

>> Hikayat Negeri Jambi: The Structure and the Sources of a Nineteenth-Century Malay Historical Work


0 komentar: