Mei 04, 2016

Masyarakat Pedesaan Jambi Menuju Desa Mandiri


Pendahuluan  


1. Propinsi Jambi seperti halnya propinsi lain di Pulau Sumatera memiliki alam yang kaya. Walaupun Propinsi Jambi bukan merupakan pusat dari perkebunan besar seperti halnya Propinsi Sumatera Utara, namun Jambi dengan areal karet rakyat seluas 450.000 ha, merupakan propinsi dengan perkebunan karet rakyat yang terluas nomor dua di Indonesia. Dalam pada itu hutan tropisnya yang relatif luas (2,9 juta ha) menjadikan propinsi ini tempat penanaman modal dalam bidang pengusahaan hasil hutan, khususnya kayu. Di samping itu Propinsi Jambi juga memiliki sumber minyak bumi yang cukup besar yang terletak di wilayah Kabupaten Batanghari.

2. Walaupun Jambi memiliki alam yang kaya, propinsi ini dengan penduduk 1,85 juta jiwa menghadapi masalah yang cukup kompleks dalam proses pembangunannya. Perekonomian Propinsi Jambi melalui usaha-usaha ekonomi yang berkembang, telah terkait erat dengan perekonomian dunia. Melalui kebun karetnya pada dasarnya setiap keluarga penduduk pedesaan telah menggantungkan kesejahteraan mereka pada situasi karet internasional yang sering tidak menentu. Kesejahteraan rakyat pedesaan akan meningkat apabila harga karet di pasaran internasional tinggi. Namun yang sebaliknya akan terjadi apabila harga karet di pasar internasional turun.

3. Seperti propinsi lainnya di Sumatera, Propinsi Jambi mendasarkan pembangunannya pada usaha-usaha ekonomi yang bertujuan untuk pengembangan sumber alamnya seperti hutan. Dasar pembangunan seperti ini di samping memiliki segi positif juga mengundang masalah. Salah satu masalah penting adalah “konflik kepentingan” antara para pemilik usaha yang mengelola sumber alam dan rakyat setempat. Konflik seperti ini terlihat jelas antara rakyat setempat dengan para pengusaha hutan.

4. Di samping masalah-masalah ekonomi di atas, proses pembangunan di Propinsi Jambi, khususnya pembangunan pedesaannya, menghadapi beberapa masalah non-ekonomis seperti isolasi phisik, serta masalah sosial dan budaya, yang dihadapi sebagai akibat dari pelaksanaan UU No 5/1979.


Pembangunan Ekonomi


5. Ekonomi Jambi masih bersifat agraris, dengan PDRB pertanian menumbang 36,2% (1988), dan sumbangan industri pengolahan (kayu dan crumb rubber) masih relatif kecil (12,0%). Untuk Kabupaten Batanghari angka-angkanya adalah berturut-turut 30,3% dan 6,6%, yang berarti bahwa industri kayu dan industri karet memang terpusat di Kota Jambi.

6. Masalah serius yang dihadapi perekonomian Jambi adalah perubahan cepat “industrialisasi kehutanan” yang dimulai pada akhir tahun-tahun enampuluhan, dan awal dekade tujuhpuluhan, dan terjadi pada saat-saat yang hampir bersamaan dengan kecenderungan penurunan harga karet alam. Dalam keadaan yang demikian petani karet rakyat yang lesu memasuki ekonomi industri kehutanan. Namun demikian boom industri kayu dewasa ini sudah mulai menyurut, sehingga perekonomian pedesaan juga bertambah lesu. Maka perekonomian desa di Jambi kini benar-benar terhimpit yaitu hutan semakin kecil peranannya sebagai sumber mata pencaharian, padahal karet sudah terlanjur semakin “ditidurkan”. Perekonomian desa telah berubah secara radikal dari ekonomi perkebunan rakyat menjadi ekonomi industri kehutanan yang bersifat sangat ekstraktif.

7. Pembangunan ekonomi telah benar-benar merasuk ke desa-desa di pedalaman, tetapi tidak otomatis menghasilkan peningkatan kemakmuran yang berarti bagi warga desa. Penduduk desa yang merupakan tenaga kerja desa telah berfungsi sebagai faktor produksi penting bagi pertumbuhan industri kehutanan yang melaju secara cepat, tetapi hasilnya tidak diterima secara merata oleh seluruh warga desa.

8. Proses perubahan ekonomi yang cukup radikal ini merupakan produk kebijaksanaan ekonomi makro yang merangsang investasi besar-besaran dalam bidang eksploitasi hutan, di dalam proses mana tata hidup dan tata pemerintahan desa, tidak mampu dan tidak siap menyesuaikan diri. Maka desa-desa pedalaman di propinsi ini memang menghadapi kesulitan. Dan kesenjangan ekonomi sosial muncul secara jelas baik di Jambi maupun di beberapa wilayah kabupaten.


Pengusahaan Hutan dan Kesejahteraan Rakyat Pedesaan

9. Masyarakat pedesaan yang tinggal di pinggiran kawasan hutan menggantungkan sebagian dari kehidupan mereka pada hutan. Bagi masyarakat ini hutan menyediakan kebutuhan biologis mereka di samping menyediakan bahan baku seperti kayu, rotan dan sebagainya, guna menunjang kegiatan ekonomis mereka di luar pertanian. Hutan juga merupakan cadangan guna membuka lahan karet baru bagi mereka.

10. Masyarakat pedesaan tepian hutan memiliki adat yang memberikan hak pada pemerintahan desa untuk menarik pajak bagi siapa pun yang memanfaatkan hutan dan hasil hutan.

11. Sejak pemerintah pusat mengeluarkan PP No 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pungutan Hasil Hutan, muncul konflik kepentingan antara masyarakat desa sekitar hutan dan para pengusaha hutan. Sumber dari konflik itu adalah kompetisi antara kedua kekuatan dalam hal penguasaan hutan. Hadirnya perusahaan pengusahaan hutan dianggap oleh penduduk sebagai penghapusan hak adat mereka terhadap hutan seperti mengambil kayu dan mengambil rotan, termasuk juga hak dari pemerintahan desa untuk menarik pajak (pancung hutan).

12. Masalah lain menyangkut asumsi “trickle down effect” dari keberadaan perusahaan tersebut terhadap perkembangan pembangunan desa. Karena para pengusaha tersebut merasa telah membayar “royalty” pada pemerintah pusat, dan pemerintah daerah tingkat I telah menerima bagian dari “royalty” itu, maka perusahaan merasa tidak lagi berkewajiban untuk ikut mengembangkan pembangunan desa-desa yang ada di sekitarnya. Iuran kehutanan yang diterima Pemerintah Daerah Tingkat I adalah rata-rata Rp. 8,3 milyar per tahun yang merupakan 27,6% dari keseluruhan penerimaan pemerintah daerah.


Dampak Undang-undang No 5/1979

13. Undang-undang No 5/1979 telah membuat masyarakat dua pemerintahan desa di Propinsi Jambi kehilangan kemampuan mereka untuk mengurus rumah tangga mereka secara mandiri. Dana Inpres Desa merupakan satu-satunya sumber pendapatan pemerintah desa. Desa-desa baru yang muncul sebagai akibat berlakunya Undang-undang No 5/1979 banyak yang tidak mempunyai sumber ekonomi yang mampu menunjang pemerintahan desa untuk secara mandiri mengelola rumah tangga mereka, seperti yang disyaratkan oleh undang-undang tersebut.

14. Masyarakat desa di Jambi mengalami disintegrasi sebagai satu kesatuan desa adat dan desa sebagai unit administrasi. Akibatnya pemerintahan desa menjadi tidak memiliki wibawa sebagai motor penggerak pembangunan pedesaan dan perubahan-perubahan sosial-budaya dalam masyarakat. Berkurangnya wibawa pemerintah desa disebabkan karena kehidupan ekonomi para aparat desa yang rendah, khususnya mereka yang berasal dari desa-desa hasil pemekaran. Rendahnya pendapatan aparat pemerintah desa menyebabkan mereka harus mencari tambahan pendapatan dari usaha sendiri yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya kualitas pelayanan mereka terhadap rakyat desa.

15. Hubungan antar-desa, yang semula berdasar asas kekeluargaan, diwarnai oleh asas individualisme. Pemerintahan desa lebih mementingkan usaha-usaha untuk mengkondisikan kekuasaan politik dan ekonomi yang mereka peroleh dari UU No 5/1979 daripada menggalakkan kerja sama antar-desa. Kerja sama antar-pemerintahan desa juga menghadapi kendala karena adanya perbedaan tingkat kehidupan antara aparat desa dan desa induk (bukan desa pusat marga) dengan aparat desa dari desa hasil pemekaran.

16. Program TKD (Tanah Kas Desa) merupakan upaya dari pemerintah daerah untuk menciptakan sumber keuangan pemerintah desa agar desa dapat mengelola rumah tangga mereka sendiri. Namun program ini karena alasan-alasan tertentu belum mampu mencapai tujuan seperti yang diinginkan pemerintah. Pertama, letak TKD yang jauh dari pusat desa menyebabkan sulitnya manajemen lahan oleh aparat desa. Kedua, tanaman karet yang menjadi tanaman utama bagi TKD menyebabkan TKD dalam jangka pendek tidak dapat menjalankan fungsinya seperti yang dikehendaki. Harga karet yang fluktuatif mengurangi potensi TKD sebagai sumber keuangan desa.


Pembangunan Desa


17. Pembangunan desa masih terlihat lamban karena beberapa sebab. Pertama, isolasi fisik masih menyelubungi desa-desa yang tersebar di sepanjang sungai Batanghari. Isolasi fisik tersebut mengurangi kesempatan bagi warga desa untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar desa, menyulitkan pelayanan yang efektif dari pemerintah, khususnya pelayanan kesehatan dan penyuluhan pertanian. Kedua, kesibukan para aparat desa dalam mencukupi kebutuhan hidup, menyebabkan fungsi kepala desa dan aparatnya sebagai motor pembangunan tidak bisa berjalan.

18. “Budaya karet” masih mapan di kalangan masyarakat pedesaan, khususnya di desa-desa sepanjang sungai Batanghari. Budaya karet ini mempengaruhi perhatian mereka pada pertanian non-karet seperti pertanian holtikultura, pertanian pangan, dan peternakan. Budaya karet ini tetap melembaga di kalangan masyarakat pedesaan walaupun ekonomi karet rakyat sebagai pendukung utama ekonomi keluarga sudah mengalami kemunduran.

19. Di samping usaha pertanian, mata pencaharian penduduk pedesaan Jambi juga tergantung pada hutan. Penguasaan hutan oleh pemilik modal menimbulkan hambatan dalam proses pembangunan pedesaan di Propinsi Jambi. Pertama, pengusahaan hutan oleh pemilik modal besar menyebabkan berkurangnya sumber penghasilan baik berupa hasil hutan maupun hasil ikutan termasuk ikan tawar yang terdapat di danau-danau yang berada di tengah hutan. Kedua, penguasaan hutan oleh pemilik modal menghilangkan kesempatan penduduk untuk mendapatkan lahan baru apabila mereka ingin mengembangkan tanaman perdagangan baru di luar karet.


Peranan Wanita dalam Pembangunan


20. Tekanan ekonomi terhadap keluarga masyarakat pedesaan menimbulkan tugas penting bagi wanita pedesaan yakni tugas untuk mencukupi kebutuhan dan menjaga stabilitas ekonomi keluarga.

21. Kesibukan wanita dalam tugas itu menyebabkan wanita tidak dapat diharapkan untuk secara aktif ikut dalam proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh pemerintah.


Penutup


22. Meskipun dalam lima tahun mendatang semakin sedikit jumlah desa swadaya, karena kebanyakan sudah menuju status desa swakarya dan swasembada, namun kemandirian desa dalam arti kata yang sebenar-benarnya masih sangat jauh. Tidak seperti halnya desa-desa di Jawa dewasa ini, kebanyakan desa-desa di Jambi begitu tergantung pada faktor-faktor luar desa, baik di bidang ekonomi maupun politik. Model desa mandiri harus merupakan desa yang perkembangan dan pembangunannya dikaitkan langsung dengan perusahaan-perusahaan HPH atau perusahaan-perusahaan non-HPH atau dengan perkebunan-perkebunan besar dalam pola PIR dengan “perlindungan” langsung oleh pemerintah kabupaten.

23. Cita-cita “memandirikan” desa-desa di Propinsi Jambi bisa diupayakan melalui pengelompokan kembali desa-desa (regrouping) dengan harapan di samping meningkatkan efisiensi juga mengembalikan pamor desa marga. Meskipun pengelompokan kembali desa-desa marga secara penuh tidak akan mungkin, dan barangkali juga tidak perlu, tokh upaya demikian sudah dimulai dengan hasil yang baik.

24. Pengadaan TKD pada dirinya tidak akan mampu memandirikan desa. Upaya-upaya pembangunan mandiri akan lebih mudah dicapai melalui pengenalan dan pengembangan LSM baik pada tingkat kabupaten maupun pada tingkat desa.[]

__________

Mubyarto dkk., Masyarakat Pedesaan Jambi Menuju Desa Mandiri, (Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM, 1990).

Diambil utuh dari bagian “Ringkasan Eksekutif”, hlm. xv-xx.


0 komentar: