About Us


WEBLOG SEDERHANA ini didedikasikan untuk studi Jambi dan orang-orang yang berminat atau telah meneliti Jambi. Weblog ini mengumpulkan dan mendokumentasikan banyak hasil studi berkenaan dengan wilayah yang sekarang disebut Provinsi Jambi. Hasil studi itu bisa berupa tesis dan disertasi, laporan penelitian, artikel di jurnal ilmiah, buku dan bagian buku terkait Jambi, paper konferensi, catatan dan arsip lama, hasil wawancara, serta artikel koran yang dianggap penting.

Berbagai hasil studi itu tentu saja tidak ditampilkan utuh. Kami (para kontributor) hanya menampilkan versi ringkas, abstrak, bagian tertentu, atau hanya kutipan darinya. Kadang-kadang yang kami muat adalah ulasan atas hasil studi tersebut, yang kami buat dengan ketergesaan dan tentu ketakmendalaman.

Tujuan kami sesungguhnya adalah membuat peta atau petunjuk bagi yang akan meneliti Jambi. Dengan maksud itu, kami selalu menampilkan sumber bahan yang kami muat beserta keterangannya di bagian awal atau akhir dari postingan. Untuk bahan-bahan yang bisa diunduh atau tersedia dalam bentuk online, kami memberikan link atau alamat situs pemuatnya. Dengan begitu, kami berharap mereka yang akan meneliti Jambi menelusuri dan merujuk langsung ke sumber asal. Sekali lagi, kami meniatkan weblog ini hanyalah penunjuk jalan, bukan sumber yang layak dikutip.

Ada beberapa hal yang mendorong dan memicu kami melakukan kerja dokumentasi ini. Pada akhir 2012, saya dan Widodo berkesempatan mengikuti sebuah lokakarya bertajuk “Museum Sejarah Komunitas” yang diselenggarakan oleh Kunci Cultural Studies Center Yogyakarta. Ada banyak “pengelola museum” yang datang dalam kegiatan yang bertujuan memberikan insight untuk kerja-kerja dokumentasi dan permuseuman itu. Dua yang paling mengesankan kami adalah Hersri Setiawan dan Janet Pillai.

Hersri dalam presentasinya berkisah tentang dokumentasi miliknya yang berisi kumpulan wawancara yang dia lakukan dengan ratusan mantan tahanan politik Pulau Buru. Oleh Hersri, mereka disuruh bercerita tentang ingatan dan pengalaman mereka di Buru, dan Hersri merekamnya dalam kaset. Wawancara dilakukan setelah mereka tidak lagi berada di penjara. Tak kurang Hersri memiliki 450 kaset yang masing-masing berisi 90 menit wawancara. Kaset-kaset itu kini dikopi tiga: satu kopi dimiliki Hersri dan ditaruh di kampungnya di Brosot, Yogyakarta; satu disimpan di Institute for Interdisciplinary Studies (IIS) Amsterdam, Belanda; dan satu lagi berada di Monash University, Australia. Dokumentasi Hersri itu sekarang menjadi bahan penting untuk studi sejarah Indonesia, terutama terkait Peristiwa 1965.

Sementara Janet Pillai bercerita tentang project-nya bersama anak-anak SD di Penang, Malaysia. Anak-anak itu diminta membawa tiga foto: satu berisi dirinya, satu keluarganya, dan satu foto kampungnya. Mereka kemudian disuruh menceritakan isi foto itu. Tentu awalnya anak-anak itu kelabakan. Tapi selanjutnya mereka akan bertanya kepada keluarga atau orang-orang yang tahu tentang foto itu. Dengan foto-foto itu, Janet mengajarkan sejarah kepada anak-anak. Topik besar yang merangkum pengetahuan anak-anak waktu itu adalah kisah Pulau Penang, terutama kisah migrasi warga asal India dan Tiongkok ke Penang. Setelah anak-anak punya pengetahuan, mereka diminta mereproduksinya dalam bentuk apa saja. Ada yang dengan lukisan, ada yang membuat pameran, ada pula yang membikin drama. Dokumentasi Janet tidak sekadar dokumentasi, tapi dokumentasi yang hidup (living museum).

Sepulang dari lokakarya itu, saya membayangkan andai ada kerja-kerja seperti itu di Jambi. Tentu tidak sama persis. Wawancara audio ala Hersri bisa diganti video atau foto. Hasil kerja dokumentasi ala Janet bisa dibuat buku. Hasil akhir bisa berupa apa saja. Yang paling penting adalah kerja dokumentasinya.

Awal Mei ini, saya dan Widodo serta seorang kawan lagi dari Jambi beruntung mendengar presentasi Clémentine Deliss, direktur Weltkulturen Museum (ini betul-betul museum), Frankfurt, Jerman, di Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta. Judul presentasinya “Menuju Museum Pasca-Etnografi di Abad Ke-21” (Towards a Post-Ethnographic Museum in the 21st Century). Deliss menceritakan kemestian museum sekarang beralih dari sebagai tempat koleksi material sejarah ke museum digital. Alasannya, selain museum lama sendiri sebenarnya “merusak” heritage, juga ruang pajang museum, seberapa pun luasnya, lama-kelamaan terbatas.

Hadir dalam dua peristiwa itu yang menebalkan niat saya dan Widodo untuk membuat dokumentasi. Tapi bentuknya seperti apa, belum juga kami temukan. Mau buat wawancara panjang seperti Hersri, waktu dan biaya kami terbatas. Ingin meniru Janet, beberapa tahun ini kami lebih sering di luar Jambi untuk urusan studi. Alasan yang sama jika mau membikin seperti yang dikerjakan Weltkulturen Museum: karena kami tidak sedang di Jambi, tidak bisa memotret banyak bahan sejarah untuk diunggah. Kami punya niat, tapi masih bingung cara mewujudkannya.

Sampai kemudian saya membaca weblog Disertasi Indonesia yang baru saja diluncurkan seorang teman di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Mas Endy Saputro, bersama kawan-kawannya. Mereka membikin weblog yang memuat ulasan-ulasan disertasi tentang Indonesia. Dari pengantarnya, saya jadi tahu bahwa kerja dokumentasi yang mirip dengan yang mereka lakukan pernah digarap oleh orang Indonesia, yakni oleh Najib Burhani dari LIPI. Najib mengelola dua weblog berisi dua dokumentasi tematis yang selama ini menjadi ladang studinya, yaitu Muhammadiyah Studies dan Indonesian-Ahmadiyya Studies. Situs lain yang menginspirasi Mas Endy dan kawan-kawan adalah Dissertation Reviews. Ini kerja-kerja hebat!

Dari tiga situs itu, sebelumnya saya pernah mengunjungi dua yang terakhir. Tapi tetap saja ketika itu tidak terpikir untuk membuat seperti yang dilakukan pengelolanya.

Mas Endy menyebut kerja yang dia lakukan bersama teman-temannya dan yang dilakukan Najib sebagai kerja bibliografi. Kerja bibliografi ini, keluh Mas Endy dan kawan-kawan, cukup marak di masa lalu, tapi sejak 1990-an awal tidak pernah lagi dilakukan. Saya kira itu benar. Saya pernah mendapatkan e-mail dari seorang mahasiswa doktoral di Kanada yang berencana menulis disertasi tentang Jambi. Dia bertanya ke saya, apakah ada bibliografi buku-buku tentang Jambi? Dengan segera saya menjawabnya tidak ada. Bagaimana itu dilakukan di Jambi, jika banyak buku tentang Jambi sendiri tidak ada di sana?

Weblog yang dibuat Mas Endy dan kawan-kawan, bagi saya, menarik dan, ini yang penting, bisa ditiru. Sebagai weblog, bebannya tidak seberat membuat bibliografi yang kalau diterbitkan mestilah lengkap. Cukup apa adanya. Seketemunya saja. Kalau menemukan hasil studi tentang Jambi, muat. Kalau tidak, tidak perlu ngotot. Kalau punya waktu membuat ulasan hasil studi yang ditemukan, bikin. Jika tidak, muat saja abstrak atau cuplik sebagian kecil yang menarik darinya. Niatnya hanya membuat peta atau menunjukkan arah. Memberikan jalan bahwa pernah ada tulisan tentang Jambi berjudul tertentu, misalnya, pasti sangat membantu orang yang akan meneliti Jambi. Sesederhana itu angan weblog ini.

Suatu malam sewaktu Widodo berkunjung ke kediaman saya, saya ceritakan weblog Disertasi Indonesia dan keinginan membuat yang serupa untuk studi Jambi. Widodo langsung setuju untuk berpartisipasi. Sepulang Widodo, saya chating dengan Jhoni Imron, alumnus Universitas Jambi, dan mengisahkan hal yang sama. Dia pun ingin terlibat. Atas bantuan keduanya, weblog Jambi Studies ini pun terwujud.

Weblog ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kerja-kerja yang saya lakukan dengan beberapa teman di Jambi. Sejak 2011 kami berdiskusi tentang persoalan apa saja yang muncul di Jambi. Ketika berdiskusi itu, kami segera menyadari bahwa tidak banyak data tertulis tentang Jambi. Kalaupun ada, mereka terserak entah di mana. Jika tidak banyak, mengapa tidak memproduksinya? Kami kemudian menerbitkan Seloko: Jurnal Budaya yang berisi artikel-artikel tentang Jambi. Jurnal kami pilih karena sifatnya yang rutin memaksa kami produktif. Dengan jurnal yang saya kelola bersama Ratna Dewi dan Jumardi Putra beserta beberapa teman lainnya itu, kami mulai mewacanakan apa yang kami sebut Jambi studies.

Dalam perjalanannya, Seloko juga membuat konferensi tentang studi-studi Jambi, yang segera direspons baik oleh banyak ilmuwan di dalam dan luar negeri. Konferensi itu kami rencanakan diselenggarakan rutin dua tahunan. Kami juga merancang membuat pelatihan-pelatihan penelitian untuk orang lokal Jambi. Kami ingin, dengan pelatihan itu, orang Jambi tidak hanya menjadi penonton dalam studi Jambi yang mulai hiruk itu, tapi orang Jambi-lah yang memproduksi pengetahuan tentang daerahnya.

Kalau penerbitan jurnal, konferensi, dan pelatihan sifatnya produktif, weblog ini lebih dokumentatif. Jadi ini menghimpun apa yang telah dilakukan dan dikerjakan banyak sarjana terkait Jambi.

Dengan sifat yang demikian, jika pembaca sekalian memiliki informasi atau bahkan punya bahan atau hasil studi yang ada kaitannya dengan Jambi, kami harap berkenan memberitahukannya kepada kami. Kalau pembaca sempat membuat ulasan tentang hasil studi itu, kami dengan senang hati akan memuatnya. Namun, perlu dicatat, kami tidak memberikan honor atau sagu hati dari pemuatan itu. Kerja ini adalah kerja voluntary atau sukarela.

Kami bisa dikontak via e-mail jurnalseloko@gmail.com.[]


MH Abid


0 komentar: